Pekerjaan yang dilakukan di laboratorium kimia di seluruh penjuru dunia terus memungkinkan kemajuan penting di dunia sains dan teknik. Laboratorium kimia menjadi pusat pemerolehan pengetahuan dan pengembangan materi baru untuk digunakan di masa depan. Namun demikian, pekerjaan di laboratorium kimia juga tidak terlepas dari bayang-bayang ancaman bahaya. Laboratorium kimia dengan segala kelengkapan peralatan dan bahan kimia merupakan tempat berpotensi menimbulkan bahaya bagi manusia dan lingkungan. Penggunaan bermacam-macam jenis alat, bahan kimia dan beberapa fasilitas pendukung lainnya beserta aktivitasnya sangat berpotensi dalam menimbulkan terjadinya suatu kecelakaan (Amanah, 2011)
Keselamatan dan Keamanan Kerja
Keselamatan dan Keamanan Kerja atau Laboratory Safety (K3) adalah upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan tenaga kerja dan manusia pada umumnya atau upaya yang terencana untuk mencegah terjadinya musibah kecelakaan ataupun penyakit akibat penyalah gunakan alat maupun bahan kimia pada saat praktikum. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) laboratorium adalah semua upaya untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja laboratorium dari risiko-risiko yang ada di laboratorium. Keselamatan dan kesehatan kerja di laboratorium sangat penting untuk dipahami dengan baik. Sebab jika abai terhadap prosedur kerja di laboratorium bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja, namun juga dapat merusak lingkungan yang pada akhirnya juga akan berdampak pada kesehatan masyarakat luas.
Kecelakaan kerja yang paling banyak disebabkan oleh perilaku tidak aman, sisanya oleh kondisi yang tidak aman. Menurut hasil penelitian National Safety Council (NSC) (2011), penyebab kecelakaan kerja karena unsafe behaviour(88%), unsafe condition (10%), dan tidak diketahui penyebabnya (2%), penelitian lain yang dilakukan Dupont Company (2005) juga menunjukkan kecelakaan kerja disebabkan unsafe behaviour (96%) dan unsafe condition (4%) dikutip oleh Afwina Luthfanny Fathnin, dkk (2015). Oleh karena itu, semua yang akan melakukan praktikum yaitu praktikan wajib menggunakan alat pelindung, memahami penanganan bahan kimia, maupun alat yang digunakan. Oleh karena itu untuk mengetahui penanganan bahan kimia yang digunakan, praktikan harus sudah membaca Material Safety Data Sheet (MSDS).
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian RI No 23/M-IND/PER/9/2013 pasal 1, Material Safety Data Sheet (MSDS) atau Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) merupakan lembar petunjuk yang berisi informasi bahan kimia meliputi sifat fisika, sifat kimia, jenis bahaya yang ditimbulkan, cara penanganan, tindakan khusus dalam keadaan darurat, dan informasi lain yang diperlukan.Secara ringkas MSDS adalah kumpulan data keselamatan dan petunjuk dalam penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) memerlukan perhatian khusus, karena Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.Oleh karena itu K3 seyogyanya melekat pada pelaksanaan praktikum dan penelitian di laboratorium. Laboratorium merupakan tempat staf pengajar, mahasiswa dan pekerja laboratorium melakukan eksprimen dengan bahan kimia alat gelas dan alat khusus. Penggunaan bahan kimia dan alat tersebut berpotensi terjadinya kecelakaan kerja. Pada umumnya kecelakan kerja penyebab utamanya adalah kelalaian atau kecerobohan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan dengan cara membina dan mengembangkan kesadaran (attitudes) akan pentingnya K3 di laboratorium.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) laboratorium adalah satu hal mutlak yang perlu diimplementasikan di setiap laboratorium. Oleh sebab itu, penting bagi seluruh personel di laboratorium untuk menerapkan prosedur K3 yang tepat agar risiko-risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat dihindari. Program keselamatan dan keamanan yang sukses memerlukan komitmen dari semua orang yang bekerja di lembaga setiap hari. Semua orang di semua tingkat harus memahami pentingnya meniadakan risiko di laboratorium dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan ini. Lembaga harus membuat panduan umum tentang apa yang dimaksud dengan praktik selamat dan aman dalam pekerjaan laboratorium (Moran dan Masciangioli,2010).
Laboratorium akademik dan pengajaran (seperti laboratotium Pendidikan Kimia) memiliki tanggung jawab unik untuk menanamkan sikap kesadaran keselamatan dan keamanan dan praktik laboratorium yang bijak sepanjang hayat. Praktik yang aman harus dijadikan prioritas utama pengajaran di laboratorium akademik. Memupuk kebiasaan dasar berperilaku bijak adalah komponen yang sangat penting dari pendidikan kimia di setiap level dan tetap penting sepanjang karier kimiawan. Dengan mempromosikan keselamatan selama bertahun-tahun mengajar di tingkat sarjana dan pasca sarjana, staf pengajar tidak hanya memberi pengaruh pada siswa, tetapi juga setiap orang yang akan bekerja di lingkungan yang sama di masa mendatang. Laboratorium penelitian dan pengajaran akademik memiliki tanggung jawab khusus untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya keselamatan dan keamanan serta kehati-hatian dalam melakukan praktik laboratorium kepada siswanya. Pengajaran praktik serupa harus dijadikan prioritas utama di laboratorium, karena dosen menyiapkan siswa untuk berkarier di laboratorium industri, pemerintahan, akademik, dan ilmu kesehatan (Moran dan Masciangioli, 2010).
Laboratorium pendidikan memiliki risiko kecelakaan kerja yang lebih tinggi daripada laboratorium untuk kegiatan industri. Hal ini terjadi karena di laboratorium pendidikan praktikan masih dalam tahap belajar dan umumnya belum menguasai prosedur kerja dengan benar. Selain itu kegiatan yang dilakukan menggunakan alat dan bahan yang berbeda setiap praktikumnya, sedangkan pada laboratorium industri kegiatan yang dilakukan praktikan dilakukan secara terus menerus dengan alat dan bahan yang sama setiap harinya (Olewski, 2017).
Peraturan Keselamatan Kerja
Tujuan Peraturan Keselamatan Kerja dimaksudkan untuk menjamin:
- Kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan orang yg bekerja di laboratorium.
- Mencegah orang lain terkena resiko terganggu kesehatannya akibat kegiatan di laboratorium.
- Mengontrol penyimpanan dan penggunaan bahan yang mudah terbakar dan beracun.
- Mengontrol pelepasan bahan berbahaya (gas) dan zat berbau ke udara, sehingga tidak berdampak negative terhadap lingkungan.
Laboratorium kimia merupakan tempat kerja yang memiliki banyak potensi bahaya. Bekerja di laboratorium kimia, sebagaimana bekerja dalam industri kimia, pertambangan dan bangunan mengandung risiko berupa bahaya terhadap keselamatan kerja yang tidak lepas dari kemungkinan bahaya dari berbagai jenis bahan kimia dan peralatan laboratorium. Belum maksimalnya penerapan prinsip kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada praktikum dapat memicu terjadinya kecelakaan (Isnainy et al, 2014; Purnomo dan Saputro, 2016). Kurangnya pengetahuan akan bahaya bahan kimia, sifat dan jenis bahan kimia serta cara menggunakan bahan kimia yang tepat bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja (Malaha, 2020; Ridasta, 2020). Selain itu juga disebabkan faktor perorangan dan faktor pekerjaaan kesalahan manusia dan kondisi yang tidak aman yaitu faktor alat/mesin, faktor manusia dan faktor tidak mengetahui tata cara yang aman, tidak memenuhi persyaratan kerja dan enggan mematuhi peraturan dan persyaratan kerja (Tasliman, 1993).
Bahaya-bahaya yang Mungkin Terjadi di Laboratorium
- Bahaya Api
Resiko terjadi kebakaran (sumber: bahan kimia) bahan desinfektan yang mungkin mudah menyala (flammable) dan beracun. Kebakaran terjadi bila terdapat 3 unsur bersama-sama yaitu: oksigen, bahan yang mudah terbakar, dan panas.
Akibat:
- Timbulnya kebakaran dengan akibat luka bakar dari ringan sampai berat, bahkan kematian.
- Timbul keracunan akibat kurang hati-hati.
Pencegahan:
- Konstruksi bangunan yang tahan api.
- Sistem penyimpanan yang baik terhadap bahan-bahan yang mudah terbakar.
- Pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya kebakaran.
- Sistem tanda kebakaran
- Manual yang memungkinkan seseorang menyatakan tanda bahaya dengan segera.
- Otomatis yang menemukan kebakaran dan memberikan tanda secara otomatis.
- Tersedia jalan untuk menyelamatkan diri.
- Perlengkapan dan penanggulangan kebakaran.
- Penyimpanan dan penanganan zat kimia yang benar dan aman.
- Bahaya Listrik
- Perhatikan dan pelajari tempat-tempat sumber listrik (stop-kontak dan circuit breaker) dan perhatikan cara menyala dan mematikannya. Jika melihat ada kerusakan yang berpotensi menimbulkan bahaya, laporkan pada laboran atau petugas laboratorium.
- Hindari daerah atau benda yang berpotensi menimbulkan bahaya listrik (sengatan listrik/strum) secara tidak disengaja, misalnya kabel jala-jala yang terkelupas, dll.
- Tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya listrik pada diri sendiri atau orang lain.
- Keringkan bagian tubuh yang basah misalnya keringat atau sisa air wudhu.
- Selalu waspada terhadap bahaya listrik pada setiap aktivitas di laboratorium.
- Kecelakaan akibat bahaya listrik yang sering terjadi adalah tersengat arus listrik.
Berikut ini adalah hal-hal yang harus diikuti pengguna laboratorium jika hal itu terjadi:
- Jangan panik.
- Matikan semua peralatan elektronik dan sumber listrik.
- Bantu pengguna laboratorium yang tersengat arus listrik untuk melepaskan diri dari sumber listrik.
- Beritahukan dan minta bantuan laboran atau orang di sekitar anda tentang terjadinya kecelakaan akibat bahaya listrik.
- Bahaya Zat Kimia
Semua bahan kimia dapat memberi dampak negatif terhadap kesehatan. Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat kerja yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi (Asam sulfat, Asam nitrat, Hydrochloric acid, NAOH,) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (HCL).
Bahan toksik (Sianida, Asam Sulfat, Asam Nitrat) jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible pada daerah yang terpapar.
Pencegahan:
- “Material Safety Data Sheet” (MSDS) dari seluruh bahan kimia yang ada untuk diketahui oleh seluruh petugas laboratorium.
- Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat vakum untuk mencegah tertelannya bahan kimia dan terhirupnya aerosol.
- Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung tangan, celemek, jas laboratorium) dengan benar.
- Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat antara mata dan lensa.
- Menggunakan alat pelindung pernafasan (masker) dengan benar.
- Bahaya Biologis
Kategori ini mengacu pada bahan infeksi seperti virus, bakteri dan jamur. Bahan biologis dapat sangat berbahaya karena mampu reproduksi dan transmisi. Ini berarti bahwa seseorang dapat terinfeksi oleh hanya sejumlah kecil bahan berbahaya, dan mentransfernya ke banyak orang lain bahkan yang berada di luar tempat kerja.
- Bahaya Fisik
Ini termasuk aspek lingkungan seperti iklim kerja, getaran, radiasi kebisingan, tingkat pencahayaan dan suhu. Halhal tersebut sangat memengaruhi kinerja pekerja dengan memengaruhi tingkat kenyamanan tempat kerja. Lingkungan fisik yang lebih baik, secara umum, akan meningkatkan produktivitas dan mengurangi masalah seperti kelelahan mata dan gangguan pendengaran.
Kategori ini mencakup semua bentuk radiasi seperti ultraviolet, inf ra merah, gelombang mikro, sinar-X, isotop radioaktif, dll. Tiga yang pertama disebut radiasi non-pengion karenaa tidak menyebabkan ionisasi. Perubahan kimiawi langsung dalam sel tubuh orang yang terpapar padanya; sementara sinar-X, dan radiasi dari zat radioaktif (dan dalam beberapa keadaan ultraviolet kuat) dikenal sebagai pengion karena mereka memengaruhi bahan kimia dalam jaringan sel, mengubahnya menjadi bahan kimia yang lebih reaktif . Ini berarti mereka dapat merusak jaringan manusia.
- Bahaya Psikologis
Ini mengacu pada perubahan stres pribadi dan tekanan sosial lainnya yang memengaruhi kesejahteraan psikologis dan kesehatan praktikan secara umum. Ini disebabkan oleh lompatan cepat kita dari gaya hidup primitif (nenek moyang kita) ke struktur sosial modern yang serba tinggi tanpa perubahan evolusioner yang diperlukan.
- Egronomi dan Penanganan
Manual Ergonomi melibatkan pemasangan alat dan prosedur di laboratorium kepada praktikan. Banyak peralatan di laboratorium dirancang agar ramah terhadap proses. Ini sering berarti bahwaa mereka tidak dirancang agar sesuai dengan praktikan, tetapi sebaliknya didasarkan pada biaya termurah atau prinsip termudah untuk memperbaiki. Hasilnya adalah peralatan yang berbahaya bagi praktikan. Penanganan barang secara manual di laboratorium saat ini merupakan aspek pekerjaan yang tidak dapat dihindari. Beberapa barang berat atau sulit diangkat, dan harus dipindahkan menggunakan prosedur khusus. Seringkali prosedur ini diabaikan, dan sebagai hasilnya banyak orang mengalami cedera.
Sumber-sumber kecelakaan di laboratorium dapat bersumber dari ruang kerja atau raung praktikum, seperti dari bahan kimia berbahaya (bahan beracun & korosif, mudah terbakar, reaktif dan eksplosif), teknik percobaan, (suhu tinggi/pemanasan, interaksi antar bahan, reaksi tekanan tinggi, penggunaan radiasi), ketidak-hati-hatian pekerja (tergesa-gesa, meremehkan bahaya, ketidak-disiplinan, dan dari fasilitas laboratorium lainnya (air, gas, listrik). Selain dari dalam ruangan praktikum, sumber kecelakaan kerja atau bahaya bisa berasal dari gudang penyimpanan reagen kimia. Oleh sebab itu penyimpanan reagen harus dipisahkan sesuai dengan sifat-sifat dari reagen tersebut. Sifat-sifat bahan bisa dilihat didalam material safety data sheet (MSDS) atau Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB).
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Budaya K3 (Safety Culture) dalam suatu organisasi menurut The Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations (ACSNI, 1993) adalah produk nilai-nilai, sikap, persepsi, kompetensi dan pola-pola perilaku dari individu dan kelompok yang memiliki komitmen terhadap K3. Sedangkan Clarke (2000) mendefinisikan budaya K3 merupakan kombinasi dari sikap-sikap, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma dan persepsi dari para pekerja dalam sebuah organisasi, yang memiliki keterkaitan secara bersama terhadap K3, perilaku selamat, dan penerapannya secara praktis dalam proses produksi. Secara umum, kunci sukses membangun budaya K3 di perusahaan/institusi itu mencakup budaya keselamatan yang merupakan interelasi dari tiga elemen: phsycological (person), behavioral (job), sistem (organization). Artinya ada tiga faktor pembentuk budaya keselamatan, yaitu pekerja, pekerjaan dan organisasi (Cooper, 2000).
Penarapan Budaya K3
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (safety culture) dapat diterapkan dengan menggunakan bantuan dari model budaya K3. Berikut adalah beberapa model budaya keselamatan dan kesehatan kerja (Mannan, 2014).
- Model Budaya K3 HSE
Health and Safety Executive (HSE) merupakan regulator K3 dari Inggris. Mereka membuat model budaya K3 yang terdiri dari 5 tahapan. Tahapan pertama menunjukkan bahwa perusahaan melaksanakan K3 hanya untuk menghindari hukuman baik dari pemerintah, pekerja atau masyarakat. Tahap kedua menunjukkan bahwa K3 lebih penting namun pelaksanaan lebih ke reaktif daripada preventif sehingga manajemen percaya bahwa problem K3 disebabkan oleh kesalahan dari pekerja. Pada tahap ketiga, kecelakaan kerja sudah lebih rendah dan manajemen menyadari bahwa pekerja merupakan bagian untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja ke depannya. Tahap keempat merupakan tahap di mana seluruh elemen pekerja menyadari pentingnya K3 dan manajemen serta pekerja memiliki kontribusinya masingmasing dalam budaya keselamatan dan kesehatan kerja. Pada tahap kelima, K3 di perusahaan dianggap sudah matang dengan investasi yang bagus dalam meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja.
- Model Budaya K3 Hati dan Pikiran dari Shell (Shell’s Heart and Safety Model)
Pada model budaya keselamatan dan kesehatan kerja hati dan pikiran dari Shell juga menggunakan 5 tahap sebagaimana model budaya keselamatan dan kesehatan kerja HSE. Pada tahap patologikal, isu K3 menjadi bahan manajemen untuk menyalahkan pekerja, manajemen tidak peduli isu K3 kecuali mereka sedang disorot. Tahap reaktif menunjukkan bahwa K3 lebih penting namun masih bersifiat mentah karena K3 hanya ada setelah kecelakaan. Pada kategori kalkulatif, K3 sangat berdasarkan data sehingga apapun yang dibilang oleh data analisis akan diikuti secara membabi buta. Pada kategori proaktif, K3 diikuti oleh organisasi secara serius oleh manajemen dan pekerja lapangan. Kategori generatif menunjukkan bahwa budaya keselamatan dan kesehatan kerja telah meningkat lebih jauh sehingga K3 terintegrasi dalam berbagai macam aspek bisnis dari perusahaan.
- Model Budaya K3 dari DuPont
Menurut DuPont, Budaya K3 adalah sebuah hasil dari nilai-nilai, persepsi, perhatian, kompetensi dan pola-pola perilaku individu dan group yang menunjukkan komitmen, cara, dan kemampuan dari sebuah manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dari sebuah organisasi. Singkatnya, budaya K3 ini mencerminkan tingkat keselamatan kerja seseorang ketika tidak ada orang yang mengawasi. Berdasarkan hasil penelitian DuPont bahwa semakin tinggi nilai dari Tingkat budaya K3 relatif (Overall Relative Culture Strength) maka semakin rendah angka TRIR (Total Recordable Injury Rates). Semakin rendah tingkat budaya relatif maka akan semakin tinggi nilai kecelakaan. Nilai budaya K3 adalah berbanding terbalik dengan jumlah kecelakaan yang terjadi di tempat kerja. Untuk memudahkan dalam memahami konsep Budaya K3, DuPont telah membuat DuPont Bradley Curve.

Gambar 1. kurva budaya k3 Dupont Bradyley
Dalam kurva tersebut, DuPont telah membagi tingkatan Budaya K3 ke dalam 4 tahap yang meliputi:
- Reactive.
Perusahaan ini menangani Isu K3 hanya bermodalkan “insting alam” saja. Mereka hanya berfokus kepada kepatuhan (compliance) daripada budaya K3 yang kuat. Tanggung jawab dari K3 hanya berfokus kepada Manager K3 dan mereka memiliki komitmen yang sangat rendah mengenai isu K3.
- Dependen.
Ketika sudah ada komitmen manajemen dari perusahaan, supervisor umumnya akan bertanggung jawab untuk menetapkan tujuan dan mengawasi penerapan K3 terhadap masing-masing dari bawahannya. Perhatian kepada K3 telah dikondisikan kepada karyawannya tetapi lebih dengan menekankan ketakutan dan disiplin terhadap peraturan dan prosedur. Perusahaan-perusahaan tersebut sudah memberikan karyawannya pelatihan terkait dengan K3.
- Independen.
Perusahaan dalam tahap ini sudah menekankan pengetahuan individu terkait dengan Isu K3, metode K3, komitmen K3 serta standar K3. Manajemen K3 ditekankan dan diinternalisasi melalui nilai-nilai personal serta peduli terhadap diri sendiri. Perusahaan dalam tahap ini akan terlibat aktif dalam penerapan, pembiasaan, pengakuan terhadap K3 dari masing-masing individu.
- Interdependen.
Perusahaan dalam tahap ini terlibat aktif dalam membantu orang lain untuk melaksanakan K3. Lebih cocoknya, mereka menjadi “Penjaga Orang Lain” (Others keepers) karena mereka telah bisa menjaga diri sendiri. Mereka berkontribusi kepada jaringan K3 dan memiliki kebanggaan kuat terhadap usaha K3 yang mereka lakukan
Konsep Budaya K3 ini sangat penting untuk dipahami karena dengan konsep ini kita bisa menaikkan level K3 perusahaan/institusi. Dari sebelumnya mungkin semua pekerjaan K3 hanya ada di Departemen K3, dengan adanya kurva ini, kita bisa mencoba untuk menjadikan K3 sebagai kebanggaan bersama. K3 tidak hanya sebatas emblem di baju, slogan, atau hanya sebagai alat untuk menaikkan kesejahteraan kita saja, lebih jauh daripada itu, K3 bisa menjadi sebab keluarga kita tetap lengkap karena kepala keluarganya bekerja dengan aman dan sehat.
Sumber:
`1. Menteri Perindustrian Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Perindustrian Indonesia Nomor 23/MIND/PER/4/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 87/MIND/Per/9/2009 tentang Sistem Harmonisasi Global Klasifikasi dan Label Bahan Kimia. Jakarta: Kementerian perindustrian. Hal: 4.
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.(2009). Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Fungsional Dosen ke Lektor Kepala dan Guru Besar. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
3. Badan Standar Nasional Pendidikan.(2006). Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA. Jakarta: BSNP. Hal: 178.